Tuesday, November 6, 2012

Taman Surga itu Bernama Surapati

Gw mungkin Gemini paling absurd sedunia, yang senang berubah-ubah dan mengubah, tapi juga gampang stres dengan perubahan yang datang dari luar. Beberapa bulan belakangan ini aja yang paling berasa. Kenapa? Karena history bbm gw sama si Onye terasa menumpuk sekali segera setelah ulang tahun gw selesai. Kalo isinya gak curhat menyek-menyek, pasti kita cuek-cuekan. Dari urusan kerjaan yang macem jadi broker saham, saking gak jelas pemasukannya, pergaulan menurun karena model kerjaan yang gak memungkinkan untuk punya waktu bareng sama rekan kerja, undangan-undangan kawin yang mencapai puncaknya di tahun ini, bayi-bayi yang makin numpuk di barisan pp bbm dan fb, sampe perecetan gak penting semacem kelakuan supir ojek dan taksi yang ganggu akal sehat. O dan tentunya kaligata gila.

"Mungkin psikosomatis lu, Gol, alergi sama perubahan!"
'Yang lebih mungkin, bentol gak ilang-ilang ini yang bikin gw kena gangguan! Tiap liat bentol, gw malahan jadi stres lebih cepet.'

Sepertinya gw sudah memprediksi hari-hari aneh ke depan, semenjak gw memutuskan mencari ukulele/uke sebagai teman hidup baru. Emang udah niat gw, kalo nemu ukulele waktu gw melancong ke Bali, akan gw beli.
Menemukan Le Gian (si uke Bali yang gw temukan di kios Surya Bali Art (SBA) Legian) di bunyi pertama, bikin gw jatuh hati. Kalo orang bilang bunyi uke itu ringan dan ceria, gw termasuk kubu yang terhipnotis dengan suaranya.

Sampai hipnotis itu selalu hilang saat gw selesai mainin uke.
Hooh. Bahkan kena senar uke dan badan uke pun, gw bentolan. Prut.

Ini kenapa hidup berapa bulan rasa monoton ya?

Gak. Gak. Gw gak kesambet nongkrong di depan kantor catatan sipil. Gak.

Gw malah lebih pelit sama akhir pekan gw saat ini.
Menyambangi coffee spot ber-wifi satu-satu,
Nongkrong sendirian dari ngunyah appetizer sampe dessert,
Dan baru pulang ketika ingat jam malam.

Sampai akhirnya di sebuah hari Minggu malas, gw menyetop patas 213 depan Slipi....

Sambil nenteng uke, dan modal dua ribu, "Bang, Taman Surapati."

Hari itu mungkin perayaan 7 tahunnya gw kembali ke Taman Surapati, meski tidak dilengkapi krucil-krucil gila dan mencret tahi burung.
Mungkin juga perayaan 10 tahun akhirnya gw memberanikan diri naik 213 lagi.

Setelah naik bus dulu selalu jatoh, entah di dalem bus maupun pas turun.
Tapi gw yang sekarang tangguh, harus ada perubahan dalam 10 tahun. Ahei.

Secara 1 minggu itu adalah perayaan Minggu Aneh Nasional, wajib dong gw ketemu orang-orang aneh sepanjang jalan.
Dari yang ngobrolin kitab suci dan hubungannya dengan pilkada Jakarta (pilkada-nya juga dah lewat),
Tukang ketan bakar panggulan berwaham superhero yang nyebrang hardcore di selebaran jalan Sudirman,
Sampai bapak yang meracau ngoceh sama kaca bus sepanjang jalan dengan tangan basah (entah kenapa), yang pasangan duduknya berganti-ganti karena ngeri.
Termasuk gw.

Hayal-hayal apa sih gw bisa sampe ada di pusat Jakarta di hari Minggu begini?

Sampai itu patas berhenti di halte Taman Surapati.

Ini nyari orangnya gimanaahhh??

Karena ternyata Taman Surapati yang dulu sepi banget karena gw dateng di hari biasa, menjelma jadi surga KW Super Premium, di mana surga-surga itu terbagi dalam banyak spot. Disambut oleh nyanyian-nyanyian malaikat dari bebunyian string instruments di kanan kiri taman, orang-orang yang piknik hore, para dancers yang entah mengikuti beat musik apa, sampai orang-orang yang dengan santainya berfoto di patung putih bentuk 2 manusia.
Iya, tugu patung tempat dulu nama dan foto gw dan krucils terekam di list keamanan kedutaan AS, karena kita heboh foto-foto tanpa menyadari background-nya itu tempat kedutaan mereka.
(Penting: Kita foto gaya kok di kamera security-nya)

"Hai, bawa apa itu..? Biola, ya," tanya bapak-bapak pemegang terompet ramah.
'Ini ukulele.., ' ucapan pertama gw yang mengembalikan kesadaran gw akan tujuan kedatangan ke sana.
"Wow, mainin dong," giliran bapak satunya yang berkomentar.
'Nanti ya, saya lagi cari komunitas ukulele, belom ketemu dari tadi muter-muter.'

Sampai akhirnya gw melihat 2 orang cewek cowok dan hardcase ukulele isi 3 uke yang disandarin berdiri, macam tukang obat siap menjajakan produknya.

'Ini @JakartaUkulele, ya,' tanya gw pada seorang laki-laki ramah lain yang duduk gak jauh dari si 'tukang obat'.
"Hah, apaan, neng," kata si laki-laki bingung.
"Eh iya, ini @JakartaUkulele," kata si 'tukang obat' memecah kebingungan.

Lalu si laki-laki bingung tadi pun pergi menjauh, mendekati sepeda dan serencengan minuman kopi di badan sepedanya.
O prut, tukang kopi.

Selanjutnya 'tukang obat' ini berganti nama jadi Adit, dan cewek yang bikin gw tenang karena gw gak cewek sendiri (o bisa gender insecure, ternyata) ini namanya Iput. Baru kalap nyoba 3 uke selain Le Gian, datanglah laki-laki berambut rasta.

Namanya Jack.

"Hai, apa ini, boleh coba?"

Mainlah dia dengan gampangnya megang si instrumen asing ini. Dia bilang biasa main string instruments, pasti gampang lah cari-cari nada di instrumen string lain. Yang susah itu dapet soul-nya.
Jack ini biasa main cello, tiap Minggu ngajar biola sama komunitas non komersialnya. Yohi, gratis. Yang dateng rata-rata anak muda, tapi ada juga anak-anak SD gitu yang mulai belajar. Cina pun ada.
Taman ini semakin menarik, ya.
Komunitasnya juga ngajar pengamen-pengamen jalanan, karena sebagian besar pengajarnya juga besar dari pengamen jalanan yang serius belajar musik dan dapet beasiswa ke luar negeri untuk kuliah musik.

Makin sore, makin banyak pasukan yang dateng, dari yang bawa ukulele, coklat janjinya si mimin, kopi Swiss lengkap sama peralatannya. Uke man-nya ternyata ada yang merangkap barista. Kadang ada orang-orang ngerumunin kita, nontonin kita atau liatin uke si barang instrumen aneh yang jarang dimaenin anak muda di sana. Dari bule sampai masyarakat lokal, anak-anak yang keliling-keliling depan lapak kita sambil skuteran, dan kumpulan anak-anak singkong yang mengepit ayam hitam dalam bungkusan kain bekas pamflet.

"Bang, nyanyiin lagu Hujan Sore Sore dong, Bang!"
"Ogah! Baru juga gw dateng, masa udah ujan sore-sore!"

Ditolak Simon, bocah-bocah pun pergi.
Mungkin mencari kumpulan lain yang sawer-able.
Dan yang gak mupengan cari arang sama kecap kalo liat ayam idup.

Udah kenyang coba-coba varian uke, akhirnya nyoba main-mainin lagu tanpa suara berjamaah.
Macam belum panas, masih malu-malu.
Lagi berantakan ketinggalan ngikutin strumming-nya Simon di Over the Rainbow/What A Wonderful World karena roaming, tiba-tiba Hima dateng nongkrongin kita sambil nyanyi ala-ala Monita versi laki.
Baru gw oh ngejar lagunya.
Makin lama makin betah di sini, lupa punya malu.
Nyengnyong-nyengnyong bergembira kayak orang mabok.

Orang-orang di sini punya banyak gaya strumming khas, beda-beda.
Dateng dalam bentuk dan kemasan yang bervariasi, juga pulang dengan membungkus kesenangan hari ini berlainan.

Malam itu bagi gw dibungkus dengan titipan buku Eddie Vedder yang masih belom gw cari mp3-nya sampai hari ini,
We Could Be In Love buat kawinan Windy yang udah mulai terinspirasi bentukan strumming-nya,
Lagu Sirih Kuning yang bikin ohrwurm,
Kue cubit setengah mateng yang maha enak,
Pulang nebeng makhluk asing yang songong mengira gw berasal dari wilayah Kelapa Gading,
Dan tempat pelarian baru untuk boost energy.

Besoknya,
Gw malas sekali bangun.
Seperti hari pertama kembali dari traveling.
Ah. Gaya.

151012
adnanauS

No comments:

Post a Comment